Monday, June 28, 2010

KEWAJIBAN DALAM MENUNTUT ILMU (2)

SAMBUNGAN DARI KEWAJIBAN DALAM MENUNTUT ILMU (1)

Hukum Menuntut Ilmu

Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda :

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.”

[Shahih, HR. Al-Baihaqi dan lainnya dari anas dan lainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani, lihat Shahihul Jam’ no. 3913](RJ2, m/s76)

Definisi Ilmu

1- Secara etimologis : ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai kenyataannya dengan pengetahuan yang mantap.

2- Secara Terminologi Syariat : ilmu adalah apa yang ALLAH s.w.t turunkan kepada RasulNYA berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, atau mengetahui Al-Quran dan As-Sunnah, serta ucapan para sahabat yang menafsirkan keduanya dan mengamalkannya dengan diiringi rasa takut kepada ALLAH.


Keutamaan Ilmu Syariat

1- Ilmu adalah warisan para nabi :

a- Allah s.w.t berfirman :

§ ثُمَّ أَوۡرَثۡنَا ٱلۡكِتَـٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصۡطَفَيۡنَا مِنۡ عِبَادِنَاۖ

“kemudian Kami jadikan Al- Quran itu diwarisi oleh orang-orang Yang Kami pilih dari kalangan hamba-hamba kami;..” [Faathir 35:32]


b- Rasulullah s.a.w bersabda :

“..Para Ulama adalah pewaris para Nabi dan Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya bererti ia telah mengambil bagian yang cukup”

[Shahih, HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Alban dalam Shahihul Jami no. 6297](RJ2, m/s 75)


c- Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas r.a tentang firman Allah s.w.t :

“kemudian Kami jadikan Al- Quran itu diwarisi oleh orang-orang Yang Kami pilih dari kalangan hamba-hamba kami”

Ia (Ibnu ‘Abbas) berkata :

Mereka adalah ummat Muhammad s.a.w, yang diwariskan oleh Allah s.w.t kepada mereka setiap kitab yang diturunkanNYA. Lalu, orang yang menganiaya diri mereka sendiri di antara mereka akan di ampuniNYA, orang yang pertengahan akan dihisab secara ringan dan orang yang berlumba berbuat kebaikan akan dimasukkan kedalam Surga tanpa hisab.” [RJ1, Jilid 7, m/s 417]


2- Allah s.w.t Mengangkat Derajat Orang-orang Yang Berilmu

a- Firman Allah s.w.t :

يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَـٰتٍ۬‌ۚ 4

“..supaya Allah meninggikan darjat orang-orang Yang beriman di antara kamu, dan orang-orang Yang diberi ilmu pengetahuan ugama (dari kalangan kamu) beberapa darjat..”[Al-Mujadalah 58:11]


b- Tafsir Ibnu Katsir bagi ayat di atas:

“Janganlah kalian berkeyakinan bahawa jika salah seorang di antara kalian memberi kelapangan kepada saudaranya, baik yang datang maupun yang akan pergi, bahawa hal itu akan mengurangi haknya. Bahkan hal itu merupakan ketinggian dan perolehan martabat di sisi Allah s.w.t. Dan Allah tidak menyia-nyiakan hal tersebut, bahkan Dia akan memberikan balasan kepadanya di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya orang yang merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya dan akan memasyurkan namanya.” [RJ1, Jilid 9, m/s 344]


c- Imam Ahmad meriwayatkan :

Dari Abuth Thufail ‘Amir bin Watsilah, bahwa Nafi’ bin ‘Abdil Hariths pernah bertemu dengan ‘Umar bin Al Khaththab di Asafan. ‘Umar mengangkatnya menjadi pemimpin Makkah lalu ‘Umar berkata kepadanya :

“Siapakah yang engkau angkat sebagai khalifah atas penduduk lembah?”

Ia menjawab :

“Yang aku angkat sebagai khalifah atas mereka adalah Ibnu Abzi, salah seorang budak kami yang telah merdeka.”

Maka ‘Umar bertanya :

“Benarkah engkau telah mengangkat seorang mantan budak sebagai pemimpin mereka?”

Dia pun berkata :

“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya dia adalah seorang yang ahli membaca Kitabullah (Al Quran), memahami ilmu fara-idh dan pandai berkisah.”

Lalu ‘Umar r.a berkata :

Sesungguhnya Nabi Kalian telah bersabda : “Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Kitab ini (Al Quran) suatu kaum dan merendahkan dengannya sebagian yang lain”

[HR. Muslim dari az-Zuhri. Dan hadis yang sama juga diriwayatkan melalui jalan dar Umar r.a](RJ1, Jilid 9, m/s 344-345)


3- Ilmu Akan Dimanfaatkan Oleh Pemiliknya Meskipun Ia Telah Meninggal Dunia

Disebutkan dalam hadis Nabi s.a.w, Dari Abu Hurairah r.a:

اِذَا مَاتَ اْلاِنْسَـان اِنـْقـَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ : صَدَقَـةٍ جَارِيَةٍ ، اَوْعِلْمٍ يـُنـْتـَفَعُ بـِهِ ، أوْوَلـَدٍ صَالحٍ يـَدْعُـوْلَهُ

"Jika seorang manusia meninggal maka amalannya terputus kecuali tiga perkara: Sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak soleh yang mendoakannya."[Shahih, HR. Muslim](RJ2,m/s 76)


4- Ilmu Adalah Tanda Keinginan Yang Baik Dari Allah S.W.T Kepada Manusia

a- Allah Berfirman :

يُؤۡتِى ٱلۡحِڪۡمَةَ مَن يَشَآءُ‌ۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِڪۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِىَ خَيۡرً۬ا ڪَثِيرً۬ا‌ۗ وَمَا يَذَّڪَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ (٢٦٩


“Allah memberikan hikmat kebijaksanaan (ilmu Yang berguna) kepada sesiapa Yang dikehendakiNya (menurut aturan Yang ditentukanNya). dan sesiapa Yang diberikan hikmat itu maka Sesungguhnya ia telah diberikan kebaikan Yang banyak. dan tiadalah Yang dapat mengambil pengajaran (dan peringatan) melainkan orang-orang Yang menggunakan akal fikirannya.”[Al Baqarah 2:269]


b- Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan kepadanya, niscaya Allah akan pahamkan dia tentang agama(nya).”[Shahih, HR ahmad dan Ibnu majah dari Mu’awiyah r.a, lihat Sahih Al-Jami, no 6612](RJ2, m/s 76)


c- Ibnu Katsir menafsirkan surah Al Baqarah ayat 269 :

Ali Bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu Abbas : “Iaitu pengetahuan dari Al-Quran, yang meliputii ayat-ayat nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, yang didahulukan dan yang diakhiri, halal dan haram, dan semisalnya.”

Ibnu Abi Najih menceritakan dari Mujahid : “Yang dimaksudkan dengan hikmah disini adalah tepat dalam ucapan”.

Sedangkan Abul ‘Aliyah mengatakan : “Hikmah bererti rasa takut kepada Allah s.w.t, kerana sesungguhnya rasa takut kepada Allah merupakan pokok dari setiap hikmah.”

Ibrahim an-Nakha’I mengemukakan : “Hikmah bererti pemahaman.”

Ibnu Wahab menceritakan dari Malik, Zaid Bin Aslam mengatakan : “Hikmah bererti akal.”

Dan Imam Nalik mengatakan : “Sesunguhnya terbetik dihatiku bahawa hikmah itu adalah pemahaman tentang agama Allah dan sesuatu yang dimasukkan Allah kedalam hati yang berasal dari rahmat dan kurniaanNYA. Yang dapat memperjelaskan hal itu adalah bahawa anda mungkin mendapatlkan seseorang yang ahli dalam urusan dunianya, jika ia berbicara tentangnya. Dan anda mendapatkan orang lain yang lemah dalam urusan dunianya tetapi ia sangat ahli dan luas pandagannya dalam bidang agama, ini merupakan kurniaan yang diberikan kepadanya dan dihalangi dari oang yang pertama. Jadi hikmah bererti pemahaman dalam agama Allah Ta’aala”. Sedangkan As-Suddi mengemukakan :”Hikmah bererti kenabian.”

Dan FirmanNYA : “. dan tiadalah Yang dapat mengambil pengajaran (dan peringatan) melainkan orang-orang Yang menggunakan akal fikirannya.” Tidak ada yang mengambil pelajaran dari sesuatu nasihat dan peringatan kecuali orang-orang yang memiliki hati dan akal, iaitui ia memahami apa yang sednag dibicarakan dan makna yang terkandung dalam firman Allah.


5- Ilmu Adalah Penunjuk Jalan Ke Syurga Bagi HambaNYA:

a- Dalam hadis disebutkan:

من سلك طريقاً يلتمس فيه علما سهل الله له طريقاً إلى الجنة

“Barang siapa menití jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah memudahkannya jalan menuju syurga.”[Shahih, HR Muslim](RJ2, m/s 76)


6- Orang Yang Berilmu Adalah Orang Yang Benar-Benar Takut Kepada Allah

a- Firman Allah s.w.t :

إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَـٰٓؤُ3

“Sebenarnya Yang menaruh bimbang dan takut (melanggar perintah) Allah dari kalangan hamba-hambaNya hanyalah orang-orang Yang berilmu.” [Fathir 35:28]


RUJUKAN :

Rj1- Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, 9, 10, Peneliti: DR. ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Pustaka Imam asy-Syafi’I,

RJ2- Asy Syariah : Ilmiah dan Mudah Difahami – Bundel Edisi 1-4, Kewajiban Menuntut Ilmu, Penerbit Oase Media.

Penyusun : Mohd Jusharil Bin Juang

Email : Jawzril84@gmail.com

YM : jawzril84@yahoo.com


Saturday, June 26, 2010

KEWAJIBAN DALAM MENUNTUT ILMU (1)

ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ (1) خَلَقَ ٱلۡإِنسَـٰنَ مِنۡ عَلَقٍ (2) ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ (3) ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ (4) عَلَّمَ ٱلۡإِنسَـٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ (5

bacalah (Wahai Muhammad) Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan (sekalian makhluk) [1] ia menciptakan manusia dari sebuku darah beku [2] Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, [3] Yang mengajar manusia melalui Pena dan tulisan,[4] ia mengajarkan manusia apa Yang tidak diketahuinya [5] {Al Alaq 96 : 1-5}

Ayat yang pertama sehingga ayat ke lima dalam surah Al Alaq (Segumpal Darah) merupakan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad s.a.w melalui perantaraan iaitu malaikat jibril semasa nabi mengasingkan diri daripada masyarakat di dalam Gua Hira untuk beribadah kepada ALLAH s.w.t.

Keluhuran Manusia Dan Kemuliaannya Adalah Ilmu

1-Tafsir Ibnu Katsir :

Di dalam ayat-ayat tersebut juga termuat peringatan mengenai permulaan penciptaan manusia dari segumpal darah. Dan bahawasanya diantara kemurahan ALLAH s.w.t adalah DIA mengajarkan kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya. Dengan demikian, DIA telah memuliakannya dengan ilmu. Dan itulah hal yang menjadikan bapa umat ini, Adam a.s mempunyai kelebihan atas malaikat. Terkadang, ilmu berada di dalam akal fikiran dan terkadang juga berada dalam lisan. Juga terkadang berada dalam tulisan. Secara akal, lisan dan tulisan mengharuskan perolehan ilmu dan tidak sebaliknya.”

“Didalam atsar di sebutkan : ‘Ikatlah ilmu itu dengan tulisan.’[HR. Al-Khatib Al-Baghdadi dalam taqyidul Ilmi dan Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ bayanil ‘Ilmi no.396 dari anas Bin Malik r.a dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam footnote Kitabul ‘ilmi kary Ibnu Abi Khaitsamah no 55]

Selain itu, di dalam atsar juga disebutkan :’Barangsiapa mengamalkan apa yang diketahuinya, maka ALLAH akan mewariskan kepadanya apa yang tidak diketahuinya sebelumnya’.”[RJ1, m/s 311]

2-Rasulullah s.a.w bersabda :

“Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu, niscaya dengan hal itu Allah akan menjadikannya berada pada jalan syurga. Sesungguhnya para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena ridha kepada penuntut ilmu dan semua yang ada di langit dan di bumi akan memintakanampunan bagi penuntut ilmu, hingga ikan-ikan di dalam air. Keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan orang yang beribadah, seperti keutamaan bulan dibandingkan dengan seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka bererti dia telah mengambil bagian (keberuntungan) yang amat besar.”[Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah](RJ1, Jilid 7,m/s 419)

BERSAMBUNG KEWAJIBAN DALAM MENUNTUT ILMU (2)

Rujukan :

Rj1- Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, 10, Peneliti: DR. ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Pustaka Imam asy-Syafi’I.

Penyusun : Mohd Jusharil Bin Juang

Email : Jawzril84@gmail.com

YM : jawzril84@yahoo.com

Friday, June 25, 2010

JAMAK

Pengertian Jamak

1-Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu:

“Inginkah tuan-tuan saya ceritakan perihal sembahyang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sewaktu sedang dalam perjalanan.”

Ujar kami: “Baik.”

Katanya: “Jika baginda masih berada di rumah semasa matahari telah tergelincir (masuknya waktu Zuhur), baginda jamakkan Zuhur dengan Asar (jamak taqdim) sebelum berangkat, tapi kalau belum lagi tergelincir, maka baginda berjalan hingga nanti bila waktu Asar masuk baginda pun berhenti dan menjamak sembahyang Zuhur dengan Asar (jamak ta’khir). Begitu juga jika selagi baginda di rumah waktu Maghrib sudah masuk, baginda jamaklah sembahyang Maghrib dengan Isyak, tetapi kalau waktu belum lagi masuk, baginda terus sahaja berangkat dan nanti bila waktu Isyak tiba, baginda pun berhenti untuk menjamak sembahyang Maghrib dan Isyak itu.”

[Hadis riwayat Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, hadis no. 3480 dan dinilai sahih oleh Syu‘aib al-Arna’uth. Bagi Musnad Ahmad edisi 6 jilid, rujuk jld. 1, ms. 367-368.] (RJ1, m/s 13)


2-Bahawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sewaktu perang Tabuk, selalu menjamak sembahyang Zuhur dengan Asar (jamak taqdim-pen) bila berangkat sesudah tergelincir matahari (setelah masuk waktu Zuhur), tetapi apabila berangkatnya sebelum matahari tergelincir (sebelum waktu Zuhur) maka sembahyang Zuhur diundurkan baginda, dan dihimpunnya sekali dengan Asar (jamak ta’khir-pen). Begitu pula dalam sembahyang Maghrib, iaitu sekiranya baginda berangkat sesudah matahari terbenam (telah masuk waktu Maghrib), dijamaknya Maghrib dengan Isyak (jamak taqdim-pen), tetapi kalau berangkatnya itu sebelum matahari terbenam, diundurkannyalah Maghrib itu sampai waktu Isyak dan dijamaknya dengan sembahyang Isyak (jamak ta’khir).

[Hadis riwayat Imam Abu Dawud dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, Kitab al-Shalah, hadis no. 1208.] (RJ1, m/s 45)

Jamak Ketika Tidak Bermusafir

1-hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu, dia berkata:

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersembahyang di Madinah (bukan dalam musafir) sebanyak tujuh dan lapan rakaat iaitu dengan menjamak Zuhur dan Asar serta Maghrib dan Isyak.

[Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, KitabMawaqif al-Shalah, hadis no. 543.] (RJ1, m/s 47)

2-Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu menerangkan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjamak sembahyang Zuhur dan Asar serta Maghrib dan Isyak di Madinah (bukan dalam musafir), bukan kerana dalam ketakutan atau hujan.”

Lalu orang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Kenapa Nabi shallallahu‘alaihi wasallam berbuat sedemikian?”

Jawabnya: “Baginda bertujuan agar tidak menyukarkan umatnya.”

[Hadis riwayat Imam Abu Dawud dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, Kitab al-Shalah, hadis no. 1211.] (RJ1, m/s 47)

Penjelasan Hadis :

a- Syaikh al-Albani rahimahullah menjelaskan:

Hadis ini tidaklah seperti apa yang disangka oleh banyak para penuntut ilmu bahawa sembahyang (jamak) itu boleh dilakukan bila-bila sahaja tanpa pertimbangan dan tanpa alasanpun.Tetapi jika ada sesuatu yang memberatkan untuk dilaksanakan sembahyang pada waktunya maka ketika itu boleh baginya menjamak sembahyang demi menghilangkan kesulitan tersebut, baik berupa jamak taqdim ataupun ta’khir. Sesungguhnya alasan syar’i dari sembahyang jamak ini adalah untuk menghilangkan kesulitan dari kaum Muslimin. Maka jika tidak ada kesulitan tidak boleh jamak, dan wajib bagi kita memahami hadis di atas secara sempurna. Dan kesempurnaan hadis tersebut adalah sebagai berikut:

Lalu orang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Kenapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat sedemikian?”

Jawabnya: “Baginda bertujuan agar tidak menyukarkan umatnya.”


Dengan adanya sembahyang jamak yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan mukim dan tanpa uzur turunnya hujan bukan bererti semua orang boleh menjamak sembahyang tanpa adanya kesulitan.

[Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Fatwa-Fatwa Albani, (Edisi terjemahan oleh Adni Kurniawan, Pustaka At Tauhid, Jakarta 2002), ms. 88-89.](RJ1, m/s47-48)

b- Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata:

Dalam Syarah Muslim, Imam al-Nawawi rahimahullah berkata: “Beberapa imam membolehkan jamak bagi orang yang tidak musafir, bila ia ada suatu kepentingan, asal sahaja hal itu tidak dijadikan kebiasaan. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab dari golongan Maliki, dan menurut al-Khaththabi juga pendapat al-Quffal dan al-Syasy al-Kabir dari golongan Syafi’i, juga dari Ishak Marwazi dan dari jemaah ahli hadis, serta inilah pula yang dipilih oleh Ibnul Mundzir.

[Syaikh Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jld. 2, ms. 227.](RJ1, m/s 50)

c- Ibnu Taymiyyah berkata:

Mazhab Fiqh yang paling longgar dalam masalah menjamak sembahyang adalah mazhab al-Imam Ahmad. Sebab beliau telah membolehkan menjamak antara dua sembahyang hanya disebabkan adanya keperluan ataupun ketika sedang sibuk.

[Syaikh Abu Ubaidah Masyhur, Total Koreksi Ritual Shalat, ms. 411.](RJ1, 49)

Rujukan :

RJ1 - Sembayang Jamak Dan Qasar Adalah Sedekah ALLAH, Penulis: Mohd Yaakub bin Mohd Yunus, Cetakan Pertama: 2005, Penerbit: Perniagaan Jahabersa

Penyusun : Mohd Jusharil Bin Juang

Email : Jawzril84@gmail.com

YM : jawzril84@yahoo.com

Thursday, June 24, 2010

QASAR

Pengertian Qasar

وَإِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ‌ۚ إِنَّ ٱلۡكَـٰفِرِينَ كَانُواْ لَكُمۡ عَدُوًّ۬ا مُّبِينً۬ا

"dan apabila kamu musafir di muka bumi, maka kamu tidaklah berdosa 'mengqasarkan'(memendekkan) sembahyang jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh Yang amat nyata bagi kamu."[An-Nisa 4:101]

1-Asbabun Nuzul Ayat 101, Surah An-Nisa:

Ali r.a menjelaskan, bahawa ayat ini diturunkan berkenaan denga sekelompok orang dari Bani Najjar yang suatu ketika bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sering berpergian untuk berniaga, bagaimana cara kami melakukan shalat?”[HR. Ibnu Jarir. Lihat Ibnu Kathsir 1/721] (RJ3, m/s 95)

2-Hadis riwayat dari Ya’laa bin Umayyah radhiallahu 'anhu, dia berkata:

Aku pernah bertanya kepada Umar al-Khattab radhiallahu'anhu berkenaan dengan firman Allah “maka kamu tidaklah berdosa "mengqasarkan" (memendekkan) sembahyang jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir” ; sedangkan pada masa sekarang ini manusia telahpun berada dalam keadaan aman.”
Umar menjawab: “Aku sendiri pernah merasa hairan juga seperti kamu oleh itu aku telah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal ini lalu Baginda bersabda:
“Itu adalah sedekah yang diberikan oleh Allah kepada kalian maka terimalah sedekah-Nya.” [Hadis riwayat Imam Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud, Kitab al- Shalah, hadis no. 1014. Peristiwa yang sama juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim, Kitab al-Shalah al-Musafiraini wa Qasaruha, hadis no. 686 dan juga diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidhi dalam Sunan al-Tirmidhi, hadis no. 2960]. Ms 12

3-Tafsir Ibnu Kathsir :

Bagi ayat “maka kamu tidaklah berdosa "mengqasarkan" (memendekkan) sembahyang” Ibnu Kathsir mengatakan :
Yaitu kalian diberi keringanan, yaitu dari segi jumlahnya dari empat menjadi dua, sebagaimana yang difahami oleh jumhur ulama dari ayat ini. Mereka mengambil dalil bolehnya mengqasharkan shalat di dalam perjalanan, walaupun ada perbedaan pendapat di kalangan mereka. Sebagian berpendapat, perjalanan harus dalam rangka taat seperti jihad, haji, umrah, menuntut ilmu atau ziarah dan lain-lain. Sebagaimana yang diriwayatkan dar Ibnu ‘Umar, ‘Atha’ dan Yahya, dari Malik dalam satu riwayatnya, kerna zahir firman-NYA : “jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir”.

Ada pula yang berpendapat, tidak disyaratkan perjalanan dalam rangka taqarrub. Akan tetapi perjalanan harus dalam perkara yang mubah, kerana firman-NYA : “maka barang siapa terpaksa kerana kelaparan tanpa sengaja membuat dosa.”(QS. Al-Maidah 5 : 3). Sebagaimana dibolehkannya memakan bangkai dalam keadaan darurat dengan syarat bukan maksiat dalam safarnya. Ini adalah pendapat asy-Syafi’I, Ahmad dan imam-imam yang lain. Ada pula yang berpendapat: “Cukup apa saja yang dinamakan perjalanan, baik mubah maupun haram, sekali pun seandainya ia keluar untuk merampok dan membegal, maka diringankan baginya (untuk mengqashar), kerana mutlaknya kata perjalanan.” Ini adalah pendapat Abu Hanifah, ats-Tsauri dan Dawud, karena keumuman ayat ini. Dan ini berbeda dengan jumhur ulama.
[Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Peneliti: DR. ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Pustaka Imam asy-Syafi’I, m/s 391]

Hukum Qasar
1-Hadis dari Aisyah radhiallahu 'anha:

Allah mewajibkan sembahyang pada saat memfardhukannya (pertama kali) sebanyak dua rakaat dua rakaat baik ketika hadir (tidak bermusafir) mahupun ketika musafir. Kemudian ditetapkan pada sembahyang perjalanan (sebanyak dua rakaat) dan ditambah lagi (sebanyak dua rakaat) pada sembahyang hadir.
[Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, Kitab al-Shalah, hadis no. 350.] (RJ1, m/s 20)

2- Hadis dari Ibnu Umar radhiallahu 'anh berkata:

Aku pernah menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan baginda tidak melebihkan sembahyangnya dari dua rakaat dalam perjalanan (safar), begitu juga oleh Abu Bakar, Umar dan Uthman.[Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahih Bukhari, Kitab al-Jumu’at, hadis no. 1102.] (RJ1, m/s 21)

3- Hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anh berkata:

Difardhukan sembahyang melalui lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bagi orang bermukim empat rakaat, bagi musafir dua rakaat dan bagi orang yang takut (diserang musuh) satu rakaat.
[Hadis riwayat Imam al-Nasa’i dan dinilai sahih oleh al-Albani di dalamShahih Sunan al-Nasa’i, Kitab al-Shalah, hadis no. 456.] (RJ1, m/s22)

4- Hadis dari Umar al-Khatthab radhiallahu 'anh berkata:

Sembahyang dalam perjalanan (safar) dua rakaat, sembahyang Jumaat dua rakaat, sembahyang ‘Id (hari raya) dua rakaat, itu semua adalah tamam (sembahyang yang sempurna), bukan qasar menurut keterangan dari lidah Muhammad shallallahu‘alaihi wasallam.
[Hadis riwayat Imam Ibnu Majah dan dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, Kitab Iqamah al-Shalah wa sunnah fiha, hadis no. 1063.] (RJ1, m/s 22)

5- Hadis dari Ibnu Umar radhiallahu 'anh berkata:

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami, ketika kami kesesatan (jalan) lalu baginda mengajari kami, dan di antara yang diajarkan kepada kami, bahawa Allah 'Azza wa Jalla memerintahkan kami agar sembahyang dua rakaat dalam perjalanan (safar).
[Hadis riwayat Imam al-Nasa’i dan dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan al-Nasa’i, Kitab al-Shalah, hadis no. 457.] (RJ1, m/s 23)

Syarat Qasar
1- Hadis riwayat dari Abdullah ibnu Umar radhiallahu 'anhuma , dia berkata:

Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika keluar dari kota Madinah, baginda tidak menambah rakaat sembahyang-sembahyangnya melebihi 2 rakaat (kecuali Maghrib) sehinggalah baginda kembali ke kota Madinah.
[Hadis Riwayat Imam Ibnu Majah dan dinilai hasan sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, Kitab Iqamah al-Shalah wa al-Sunnah Fiha, hadis no. 1067.] (RJ1, m/s 31)

2- Apabila Anas bin Malik radhiallahu 'anhu ditanya tentang solat qasar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau menjelaskan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila keluar dalam satu perjalanan yang berjarak tiga mil* atau tiga farsakh* (Syu’bah ragu-ragu) maka baginda sembahyang hanya 2 rakaat.
[Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim, Kitab Shalat Musafiraini wa Qasaruha, hadis no. 691.] (RJ1, m/s33)

* Satu mil bersamaan dengan 1,748 meter manakala satu farsakh pula bersamaan dengan 5,541 meter. 3 mil bersamaan dengan 1 farsakh.

3- Al-Baihaqi telah menyebutkan dalam riwayatnya melalui jalur ini bahawa Yahya bin Yazid radhiallahu 'anhu berkata:

Aku bertanya kepada Anas tentang mengqasarkan sembahyang dan saat itu aku akan keluar menuju Kufah (iaitu dari Bashrah), apakah aku sembahyang dua rakaat dua rakaat hingga kembali.” Anas juga berkata: “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan perjalanan sejauh tiga mil atau tiga farsakh maka baginda sembahyang 2 rakaat.”
[Hadis riwayat Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, hadis no. 12313 dan sanadnya dinilai hasan oleh Syu‘aib al-Arna’uth. Bagi Musnad Ahmad edisi 6 jilid, rujuk jld. 3, ms. 129.] (RJ1, m/s34)

4- riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, dia berkata:

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersembahyang Zuhur empat rakaat di Madinah* dan bersembahyang Asar di Dzil Hulaifah* dua rakaat.
[Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim, Kitab Shalat Musafiraini wa Qasaruha, hadis no. 690.] (RJ1, m/s35)

* Sebagaimana yang telah sedia maklum jarak perjalanan dari Madinah ke Dzil Hulaifah adalah 7 mil iaitu bersamaan dengan antara 12 hingga 13 kilometer.

Tempoh Qasar
1-Hadis dari Jabir bin Abdillah, dia berkata:

“Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bermukim di Tabuk selama dua puluh hari (dan baginda) mengqasarkan sembahyang.”
[Hadis riwayat Imam Abu Dawud dan dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu Dawud, Kitab al-Shalah, hadis no. 1235.] (RJ1, m/s39)

3- Hadis dari Yahya bin Abi Ishak berkata:

“Saya mendengar Anas bin Malik berkata: “Kami pernah musafir bersama Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam dari Madinah ke Mekah. Selama dalam musafir itu baginda melakukan sembahyang secara dua rakaat (qasar kecuali Maghrib) sehingga kembali ke Madinah.

Saya bertanya: “Berapa lamakah anda berada di kota Makkah?”

Anas menjawab: “Kami menginap di Kota Makkah selama sepuluh hari.”
[Hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, Kitab al-Jamaah, hadis no. 1081.] (RJ1, m/s40)

Hadis Dha’if Tentang Qasar
1-Diriwayatkan dari Imran bin Hushain, dia berkata:

“Aku berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat penaklukan kota Mekah, maka baginda bermukim di Mekah selama lapan belas malam dan tidak sembahyang kecuali sebanyak dua rakaat (qasar).”
[Hadis riwayat Imam Abu Dawud dan dinilai dha‘if oleh al-Albani di dalam Dha‘if Sunan Abu Dawud, Kitab al-Shalah, hadis no. 1229] (RJ1, ms39)

2- Hadis Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu:

“Wahai penduduk Mekah, janganlah kamu sekalian mengqasarkan sembahyang (bagi jarak perjalanan) yang kurang dari 4 barid (2 marhalah) iaitu dari Mekah ke Asfan.”
[Berkata Imam al-Syaukani rahimahullah:
Hadis ini tidak boleh dijadikan hujjah kerana dalam sanadnya (jalur perawi yang meriwayatkan hadis ini) terdapat Abdul Wahhab bin Mujahid bin Jubair, dia adalah matruk (tertolak). Imam al-Nawawi juga menyatakan beliau adalah pendusta. Menurut al-Uzdy, riwayat ini tidak sah darinya (iaitu dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu) kerana perawi yang meriwayat darinya adalah Isma’il bin Iyash dan dia adalah dha’if (lemah di kalangan orang-orang Hijaz) dan Abdul Wahhab tersebut adalah orang Hijaz. Yang benar, hadis ini adalah mauquf (terhenti) pada Ibnu ‘Abbas, sebagaimana yang ditakhrij oleh al-Syafi’i darinya dengan sanad yang shahih. [Imam Muhammad al-Syaukani, Nailul Authar, jld. 3, ms. 481.]] (RJ1, m/s36)

Rujukan :
RJ1 - Sembayang Jamak Dan Qasar Adalah Sedekah ALLAH, Penulis: Mohd Yaakub bin Mohd Yunus, Cetakan Pertama: 2005, Penerbit: Perniagaan Jahabersa
RJ2 - Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Peneliti: DR. ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Pustaka Imam asy-Syafi’I,
RJ3 – Tafsir Quran Per Kata-Dilengkapai Dengan Asbabun Nuzul Dan Terjemahan, Dr. Ahmad Hatta, Magfirah Pustaka
--------------------------------
Penyusun : Mohd Jusharil Bin Juang
Email : Jawzril84@gmail.com
YM : jawzril84@yahoo.com